Paradigma Reformasi Pelayanan Publik

Secara teoritis, reformasi adalah perubahan dimana kedalamannya terbatas sedangkan keluasan perubahannya melibatkan seluruh masyarakat. Pengertian ini akan lebih jelas jika dibedakan dengan revolusi. Konsep terakhir menunjukan kedalaman perubahannya radikal sedangkan keluasan perubahannya melibatkan pula seluruh masyarakat. Sebagai perubahan yang terbatas tetapi keseluruhan masyarakat terlibat, reformasi juga mengandung pengertian penataan kembali bangunan masyarakat, termasuk cita-cita. Kata orde jelas menunjukkan pergantian rezim, pandangan politik, dan kebijakannya.

Perubahan mendasar sejak tahun 1999 adalah Amandemen UUD 1945, kekuasan legeslatif diselenggarakan oleh dua lembaga perwakilan yaitu DPR dan DPD, kekuasaan yudikatif diselenggarakan oleh dua mahkamah yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, daerah otonom diberikan kewenangan yang sangat luas, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dan kebebasan mendirikan partai politik. Reformasi diatas merupakan reformasi politik, terutama distribusi kekuasaan.

Perubahan demikian merupakan syarat mutlak perubahan pelayanan publik atau perubahan adminitratif, sebab dalam ilmu adminitrasi dikenal dengan prinsip when politic end, administrative began. Untuk melakukan pelayanan publik, diperlukan perubahan politik, baik mekanisme pengambilan keputusan maupun kelembagaan. Secara gradual, perubahan tersebut mengarah kepada keseimbangan keuatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Keseimbangan demikian merupakan langkah demokratisasi.

Pemberian otonom yang sangat luas pada dasarnya juga dimaksudkan untuk mendekatkan pemerintah dengan rakyat. Melalui otonom yang luas, pemerintah daerah memiliki wewenang yang luas dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan rakyat daerah.

Berbagai perubahan dalam bidang pelayanan publik memang telah berlangsung di era reformasi, meskipun tidak sebaik yang diharapkan. Dari jenis kebijakan, semakin banyak kebijakan kompetitif dalam bidang ekonomi, industri, dan perdagangan. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah mengurangi peranannya di bidang ekonomi. Demikian kebijakan distributif dan redistributif, seperti pemberian subsidi untuk pendidikan dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), beras untuk keluarga miskin (raskin) dan Program Kompesasi Subsidi BBM yang diberikan dalam bentuk uang tunai. Dari prilaku birokrasi , meskipun korupsi dan kolusi belum ada tanda-tanda merosot, tetapi arogansi birokrasi berkurang.

Responsivitas sebagai salah satu tolak ukur pelayanan publik hampir tidak dimiliki birokrasi publik dan para pejabat publik di era negara kuat dan deregulasi setengah hati akibat lemahnya masyarakat. Di era reformasi, setiap isu publik segera memperoleh perhatian dari intansi terkait. Meskipun demikian, respon pemerintah masih dirasakan lambat oleh masyarakat, terbukti dari terus mengalirnya tuntutan masyarakat terhadap DPR dan DPRD terhadap persoalan publik. Tidak jarang disertai dengan konflik terbuka antara warga dengan aparat keamanan. Pergeseran dari executive heavy ke legislative heavy pada awal reformasi, segera berubah menjadi menjadi persekutuan eksekutif dan legislatif dengan mengabaikan pelayanan publik. Anggaran belanja untuk fasilitas anggota legislatif dan pejabat eksekutif, telah mengalahkan anggaran untuk pembangunan jalan dan fasilitas publik lainnya di daerah.

Efisiensi dan efektifvitas pelayanan menunjukan peningkatan. Sistem dan prosedur pelayanan telah diubah lebih sederhana, baik dalam bidang surat menyurat, pendidikan, kesehatan, air bersih, listrik maupun telepon. Namun masyarakat masih belum terbebaskan dari biaya siluman, terutama untuk mendapatkan surat izin usaha perdagangan, sertifikat tanah dan semua surat yang dikeluarkan oleh kepolisian. Kepolisian merupakan institusi yang paling buruk dalam pelayanan publik di banding institusi lainnya.


Oleh: Dr. Ikeu Kania
Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Pengurus Indonesia Association for Public Administration (IAPA) Jawa Barat

Related Posts