Gaya Hidup Hedonis Pejabat, Benarkah ada Kaitannya dengan Praktek Korupsi?

ASAPENA.COM – Presiden Joko Widodo sebagai orang nomor satu di Indonesia sempat menyinggung tentang gaya hidup dalam sambutan acara didepan perwira tinggi Polri. Beliau mengingatkan untuk berhati-hati jangan sampai gaya hidup, lifestyle, dalam situasi ekonomi yang sulit menimbulkan kecemberuan sosial. Secara tidak langsung peringatan tersebut tidak hanya diperuntukan bagi Polri saja, tetapi untuk Pejabat yang diberikan fasilitas pembiayaan serta anggaran pemerintah.

Gaya hidup mewah/hedonis para pejabat kini menjadi sorotan masyarakat sehingga banyak menimbulkan kecurigaan dan spekulasi. Rasa kecurigaan ini sebagai tanda bentuk kecemburuan sosial masyarakat sehingga timbul aksi intoleransi, radikalisme, dan kepercayaan rakyat Kepada pemrintah yang semakin berkurang.

Hal ini tentunya menjadi PR penting bagi pemerintah sebagai pemangku negara dan role model bagi rakyat untuk bisa hidup secara sederhana. Tidak hanya itu, sebagai pejabat perlu mengedepankan prinsip bahwa kepentingan publik lebih utama dibandingkan kepentingan pribadi.

Namun dalam realitanya, kesadaran itu masih jauh diterapkan bagi pejabat. Kenyataanya mereka lebih mementingkan pribadi dan bukti nyatanya adalah masih ada pejabat yang korupsi. Indonesia masih sulit untuk menata aksi tidak terpuji memperkaya diri sendiri. Hampir semua pemerintahan sudah ternodai oleh praktek korupsi para pejabat. Bahkan sampai sekarang pemberitaan mengenai korupsi masih menghiasi lini masa sosial media.

Sebenarnya tidak ada kaitannya mengenai gaya hidup hedon pejabat dengan perilaku korupsi. Akan tetapi beberapa penelitian mengatakan bahwa ada keterkaitan antara gaya hidup pejabat yang mewah dengan praktek korupsi. Menurut pakar komunikasi Universitas Diponegoro mengatakan bahwa, seseorang yang terbiasa hidup mewah sulit untuk mengubah gaya hidupnya menjadi sederhana.

Memang pada kenyataanya para pejabat ada yang memiliki latar belakang pengusaha sehingga sudah terbiasa dengan hidup mewah. Namun ada juga pejabat dengan background sederhana yang membuat gaya hidupnya berubah menjadi hedonis, sehingga sanggup menyeret mereka untuk korupsi.

Masyarakat juga patut memperhatikan jika seorang pejabat tiba-tiba berubah drastis gaya hidupnya menjadi glamour, karena patut dicurigai adanya korupsi. Gaya hidup hedonis bisa dilihat dari barang-barang yang dipakai seperti mobil, rumah, jam tangan dan sebagainya yang kemungkinan justru melebihi gaji yang didapat.

Perilaku gaya hidup hedonis pejabat juga disoroti oleh pakar Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Univeristas Gajah Mada (UGM), Zaenur Rohman. Ia menjelaskan bahwa gaya hidup hedonis tidak hanya melanggar kode etik tetapi juga mendorong terjadinya korupsi. Selain melanggar kode etik, perilaku hedonis juga melukai rasa solidaritas masyarakat dan sesama Aparatur Sipil Negara (ASN) yang belum sejahtera.

Fenomena gaya hidup mewah pejabat terjadi karena tidak ada penegakan hukum yang disiplin dan tegas dari pemerintah. Masalah mendasar adanya perilaku hedon pejabat karena tidak ada tindakan lanjutan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kemenkeu.

Namun saat ini Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah mulai bertindak tegas dengan melakukan pencopotan jabatan kepada Rafael Alun Trisambodo sebagai Kepala Bagian Umum di Kanwil DJP Jakarta II. Selain itu, Kepala Kantor Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto juga dicopot dari jabatanya oleh Sri Mulyani karena kerap memamerkan gaya hidup mewah yang diunggah di akun instagramnya.

Perilaku hedon tentunya tidak boleh dilakukan oleh siapaun tidak hanya berlaku untuk pejabat. Gaya hedonis dan bermewah-mewahan adalah sebagai bentuk keserakahan dan pamer serta kurangnya rasa empati terhadap orang lain yang tidak memiliki kesejahteraan hidup. Hal yang sebaiknya dilakukan kita sebagai makhluk sosial adalah hidup sederhana dan sesuai kapasitasnya. Hidup sederhana juga mampu memberikan contoh yang baik bagi generasi selanjutnya agar bisa peduli terhadap kehidupan sekitar yang masih banyak kekurangan.

Related Posts