Korupsi di Indonesia Sudah Sangat Memprihatinkan, Langgar Hak Sosial dan Ekonomi Masyarakat

Dewasa ini korupsi di Indonesia sudah terjadi secara meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. Korupsi di Indonesia masih tetap menjadi topik pemberitaan mass media dan telah meningkat pula menjadi topik politik dan tidak lagi menjadi urusan hukum semata.

Permasalahan korupsi tidak menjadi monopoli negara-negara berkembang, tetapi sudah menjadi gerakan rutinitas semua negara untuk melakukan pemberantasannya, bahkan kita sadari bahwa “Combat to Corruption” layaknya nyala api lilin, sesekali waktu terjadi minimalisi perbuatannya, lain waktu menimbulkan gejolak dan reaksi masyarakat yang cukup keras, namun api ini seolah kuman yang tidak pernah padam.

Tindak pidana korupsi merupakan suatu gejala sosial yang sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Hal tersebut apabila tidak dicegah akan berakibat menghambat pembangunan nasional, karena dalam pembangunan nasional keuangan dan perekonomian negara merupakan hal yang sangat penting, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Indriyanto Seno Adji menyatakan bahwa dalam konteks yang komprehensif, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa korupsi merupakan white collar crime dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operasinya dari segala sisi, sehingga dikatakan sebagai invisible crime yang sangat sulit memperoleh prosedural pembuktiannya, karenanya seringkali memerlukan pendekatan sistem (System Approach) terhadap pemberantasannya.

Sudah terlalu banyak kasus korupsi yang terjadi di masa lalu sehingga perlu ada kesepakatan nasional tentang metoda yang jitu untuk memberantasnya, korupsi yang mana yang didahulukan penuntutannya dan yang mana pula perlu ada usaha konsiliasi. Korupsi yang menyeluruh akibat gaji yang terlalu rendah disertai semakin meningkatnya kesulitan hidup.

Berdasarkan informasi dari lembaga Transparency International yang diumumkan di Berlin tanggal 28 Agustus 2003, Indonesia masih berada di kelompok sepuluh besar paling rendah, yang artinya masuk dalam jajaran negara paling korupsi di dunia.

Temuan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berkedudukan di Hongkong, dari hasil penelitiannya di seluruh Asia yang diumumkan tanggal 10 Maret 2002, Indonesia dinyatakan sebagai negara terkorup di Asia pada peringkat pertama.

Secara umum dapat dinyatakan bahwa tindak pidana korupsi selain yang dilakukan oleh seseorang guna mendapat keuntungan pribadi maupun orang lain tetapi hal tersebut juga untuk menguntungkan korporasi, hal ini disebabkan banyak para pengurus memanfaatkan korporasi guna mendapatkan sebuah keuntungan memperoleh uang dengan cara mudah, maka korporasi tersebut harus dituntut di muka pengadilan guna mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan melalui pengurusnya.

Korporasi sebagai pelaku tindak pidana masih merupakan hal yang baru. Akan tetapi secara umum, sebagaimana yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Pasal 59 KUHP), subjek tindak pidana korupsi belum dikenal, dan yang diakui sebagai subjek dalam tindak pidana secara umum adalah “orang”. Dalam Memori Penjelasan KUH Pidana yang diberlakukan pada tanggal 1 September 1886, dapat dibaca: “Suatu perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh perorangan (natuurlijke persoon)”. Pemikiran fiksi (fictie) tentang sifat badan hukum tidak berlaku pada bidang hukum pidana.

Di Indonesia dalam perundang-undangannya baru muncul dan dikenal badan hukum atau korporasi sebagai subjek tindak pidana pada tahun 1951 yaitu dalam Undang-Undang Penimbunan Barang-barang dan mulai dikenal secara luas dalam Undang-Undang No.7 Darurat Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi. Selanjutnya dapat ditemukan antara lain dalam Undang-Undang No.11 PNPS Tahun 1963, Undang-Undang No.9 Tahun 1976 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, Undang-Undang No.9 Tahun 1976 tentang Narkotika, Undang-Undang No.3 Tahun 1971 yang diganti dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Pasal 20 jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001, Undang- Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum pidana, masih menimbulkan permasalahan dalam hukum pidana di Indonesia, khususnya yang menyangkut masalah dalam hal penuntutan mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Apakah pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi masih dalam kerangka pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan (liability based on fault). Serta masalah lain adalah mengenai sanksi pidana yang diancamkannya.

Selama ini prinsip pertanggungjawaban korporasi tidak begitu populer dalam penanganan kasus-kasus tindak pidana korupsi. Meski Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengakui adanya “Badan Hukum” sebagai subjek hukum dalam tindak pidana korupsi, namun penanganan kasus-kasus tindak pidana korupsi sulit “dituntaskan”, khususnya yang melibatkan pihak korporasi. Pada banyak kasus, mereka yang diseret ke pengadilan hanya pelaku di lapangan seperti direksi, manajer, atau pimpinan korporasi yang lainnya, sedangkan pihak-pihak yang berada di belakang mereka (korporasi) nyaris tidak pernah tersentuh.

Logikanya, untuk kasus-kasus tertentu dimana hasil yang diperoleh perusahaan sedemikian besar dan/atau kerugian yang ditanggung masyarakat sedemikian besar, maka pertanggungjawaban pidana penjara atau denda “hanya” kepada pihak pengurus korporasi akan menjadi tidak sebanding. Disamping itu pertanggungjawaban pidana kepada pengurus korporasi akan menjadi tidak cukup memberikan jaminan bahwa korporasi tersebut tidak melakukan tindakan serupa di kemudian hari. Dalam kenyataannya, pihak korporasi juga tidak sedikit yang berlindung di balik korporasi-korporasi boneka yang sengaja mereka bangun untuk melindungi korporasi induknya.

Lantas bagaimana prospek penerapan prinsip pertanggungjawaban korporasi ini ke depan, khususnya dalam penanganan tindak pidana korupsi? Tampaknya masih cukup banyak tantangan yang akan dihadapi. Para penegak hukum harus mampu dan kreatif untuk melakukan terobosan-terobosan hukum sehingga persoalan-persoalan tersebut tidak menjadi batu sandungan di lapangan.

Demikian pula mentalitas dan keberanian para penegak hukum akan memegang peranan penting, khususnya ketika mereka tidak lagi hanya akan dihadapkan dengan pelaku tindak pidana kelas “teri” (pelaku lapangan), tetapi juga dengan pelaku tindak pidana kelas “kakap” yang notabene memiliki kapasitas, baik uang maupun pengaruh yang jauh lebih besar.

Dalam kasus terdakwa Nurdin Halid yang telah melakukan penyalahgunaan uang distribusi minyak goreng dari Bulog yang seharusnya disetorkan kembali, sehingga merugikan keuangan negara sebesar RP. 169,7 Milyar, dan terbukti memperkaya lembaga (korporasi) yaitu Koperasi Distribusi Indonesia (KDI), serta berdasarkan pengakuan dari terdakwa bahwa penyalahgunaan uang distribusi minyak goreng Bulog semuanya masuk dalam kas Koperasi Distribusi Indonesia (KDI). Dalam hal ini ternyata para penegak hukum kita sekarang telah mampu dan kreatif untuk melakukan terobosan-terobosan hukum dalam penuntutan pertanggungjawaban korporasi. Namun di dalam putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum. Sungguh Putusan Majelis Hakim membuat rakyat Indonesia kecewa dan dapat mengakibatkan ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem hukum di Indonesia.

Berangkat dari kompleksitas fenomena diatas, buku ini hendak mendalami lebih jauh tentang; pertama, bagaimana pelaksanaan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korupsi di Indonesia? Kedua, sudah sesuaikah pelaksanaan pertanggungjawaban pidana korupsi yang dilakukan korporasi yang berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia? Ketiga, fakta-fakta apa saja yang menyebabkan sangat sedikitnya pelaksanaan pertanggungjawaban pidana korupsi yang diperbuat oleh korporasi di Indonesia? Dari pertanyaan fundamental tersebut, penulis mengajak pembaca untuk menemukan jawaban ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan hadirnya buku ini kehadapan pembaca, penulis berharap semoga dapat memberikan impact sosial yang luas pada khalayak umum, serta pada khususnya dapat memberikan; pertama, sumbangsih dalam meminimalisir semakin besarnya peranan korporasi yang cenderung tanpa kendali hukum dapat mendorong tampilnya berbagai bentuk kejahatan dan pelanggaran, terutama kejahatan ekonomi yaitu korupsi. Kedua, mampu memberikan angin segar atas program-program pembangunan nasional Indonesia seringkali dihambat oleh semakin meningkatnya kejahatan korupsi yang dilakukan oleh korporasi yang menimbulkan kerugian cukup besar, baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial.

Ketiga, memberikan kejelasan bahwa kejahatan korporasi yang berkaitan erat dengan kegiatan ekonomi dan bisnis dimana untuk penanggulangannya digunakan hukum pidana, maka fungsi hukum pidana perlu dioptimalkan dengan pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional, sehingga hukum pidana dapat berfungsi sebagai sarana perlindungan sosial dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dan keempat, agar penerapan hukum pidana sebagai salah satu cara dalam penanggulangan korporasi efektif, maka perlu adanya pengkajian lanjutan mengenai hal-hal yang menyangkut perbuatan dan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai subyek hukum pidana, yang saat ini sudah tertuang dalam Usul Rancangan KUHP kita.


Oleh: Ridwan Syaidi Tarigan, SH.,MH.,CLI.,CRA
Advokat, Kurator dan Pengurus, Pengacara Pajak, dan Likuidator profesional.

Related Posts