ASAPENA.COM – Ketertarikan generasi muda pada membatik memang tidak banyak. Ditengah arus teknologi yang begitu cepat, sangat berbanding dengan ketelatenan yang harus dimiliki dalam membatik. Pasalnya, dalam proses membatik membutuhkan kesabaran dan ketelatenan. Namun, tak bisa ditampik bahwa keberadaan batik sebagai warisan budaya tetaplah harus dijaga dan dilestarikan.
Tonggak estafet inilah yang bmestinya kini digenggam para generasi muda. Kekhawatiran soal minimnya generasi penerus dalam membatik juga mencuat pada Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Jawa Tengah, yang diselenggarakan di Pendapo Si Panji Banyumas, Jumat (12/5/2023).
Saat itu, yang lantang adalah Ketua Dekranasda Kendal Wynne Frederica Dico. Ia berharap ada cara yang bisa dilakukan agar generasi Z yang disebut juga sebagai generasi instan dapat tertarik mempelajari serta menggeluti batik. Ia pun meminta tips kepada Ketua Dekranasda Jateng Atikoh Ganjar Pranowo.
Kemudian, Atikoh menjelaskan beberapa hal terkait cara yang bisa ditempuh agar generasi z dapat peduli terhadap batik. Atikoh mengatakan, pendekatan pertama adalah pendekatan institusional. Yaitu dengan cara memasukkan batik dalam kurikulum sekolah.
“Tentu, dalam hal ini muatan di dalamnya disesuaikan dengan tingkatan usia.,” kata dia.
Misal, kepada para pelajar SD, caranya adalah dengan mengenalkan terlebih dahulu bagaimana membatik secara informal melalui ekstrakurikuler atau pelajaran tertentu.
“Dijelaskan juga bagaimana mendesain batik, kemudian dipraktikkan,” tuturnya.
Dia tekankan untuk bisa mengajarkannya sesuai dengan usia anak. Sejak dini dengan pelatihan yang juga sesuai. Jangan dengan model menjelaskan di dalam sebuah ruangan seperti halnya pelatihan kepada orang dewasa dengan beragam teori. “Berikan metode pembelajaran yang menyenangkan, di luar ruang dengan santai,” tuturnya.
Kemudian, setelah dibekali kepada pelajar SD, pada tingkatan berikutnya juga diberikan pengenalan membatik. Yaitu kepada siswa SMP, SMA, maupun SMK. Bahkan, tak dipungkiri jika saat ini para siswa SMK menjadi andalan penerus pembatik.
“Misal setiap SMK ada 10 persen saja yang bisa meneruskan batik atau kerajinan lain, itu luar biasa,” ujarnya.
Kecintaan terhadap batik haruslah ditumbuhkan sejak dini. Bisa melalui pendekatan ini, dimulai dari tingkatan pendidikan SD. Maka, generasi yang instan ini, bisa memiliki potensi untuk membuat batik dengan lebih kreatif lagi. Tentu hal ini tidak lepas dari perkembangan jaman dengan mudahnya teknologi seperti Youtube.
Para pelajar ini, kata Atikoh, bisa menambah ilmunya dengan melihat Youtube. Bahkan, hal begini sudah dilakukan keponakannya yang menggeluti kerajinan akrilik. Yaitu hanya bermodalkan belajar dari Youtube. “Tentu teknik juga berpengaruh,” imbuhnya.
Setelah dilakukan pendekatan tersebut, kemudian masuk juga pada pendekatan tidak institusional. Ini contohnya adalah seperti mengadakan lomba baik itu membatik, desain motif, dan sebagainya.
Senada, Ketua Dekranasda Banyumas Erna Husein menjelaskan, bahwa kurikulum batik di sekolah sudah diterapkan di Banyumas. Yaitu agar para pelajar memiliki minat terhadap membatik terutama pada siswa SMK. Bahkan di Banyumas, setiap tahunnya diadakan tiga kali lomba fesyen.
“Bahkan masing-masing kelas punya seragam sendiri. Tentu dengan motif karya mereka sendiri dan dibatik sendiri,” ungkap Erna.
Meski sudah berjalan di Banyumas, namun Erna juga tidak menampik bahwa membangkitkan minat membatik pada masyarakat tidaklah mudah. “Ini ibarat jika ada 50 orang ibu yang dilatih, biasanya hanya ada satu orang yang menggelutinya dengan serius. Namun, ini harus terus didorong tentu salah satunya dengan menggelar lomba desain batik bagi anak-anak. Bahkan peminatnya disini luar biasa, sampai ada juga anak difabel yang memenangkan lomba,” tandasnya. (lis)