Angka Kelahiran Terus Menurun di Jepang, Jadi Peluang Tenaga Kerja Asing?
ASAPENA – Negara Jepang selalu menjadi list teratas keinginan orang untuk pergi ke luar negeri. Entah untuk bekerja atau liburan, Negeri Sakura tersebut selalu punya daya tarik tersendiri untuk menarik minat warga asing. Tak terkecuali warga di Indonesia.
Tidak hanya terkenal dengan animenya, yang menjadikan banyak Wibu (orang yang sangat menyukai budaya Jepang) bertebaran. Jepang juga memiliki segudang magnet yang bisa menarik para pendatang untuk singgah.
Demikian juga dengan kemajuan industrinya, yang menjadikan Jepang salah satu negara dengan tujuan kerja paling diminati.
Juga kuliner khas Jepang yang sudah mendunia, seperti Sushi, Gyoza, hingga Ramen, yang selalu punya cita rasa tersendiri bagi para pelancong.
Namun belakangan ini cukup santer diberitakan mengenai fenomena “resesi seks” di Negara Jepang. Hal itu mengakibatkan populasi di Jepang kian menurun karena angka kelahiran yang kian anjlok setiap tahunnya.
Jika Anda pernah melihat konten-konten di media sosial mengenai jalanan di Jepang yang sepi, atau stasiun kereta api yang hanya dihuni beberapa orang saja, itu bukan disengaja dikosongkan untuk keperluan konten. Tapi memang seperti itu adanya saat ini. Hanya beberapa kota saja yang masih terlihat ramai, seperti di Osaka, Tokyo, dan kota besar lainnya. Sementara di prefektur pinggiran, jumlah penduduknya sudah semakin menurun.
Banyak sekolah yang tutup, bahkan sejumlah industri terancam gulung tikar karena minimnya angkatan tenaga kerja lokal di Jepang. Oleh karena itu saat ini banyak program tenaga kerja asing yang digagas pemerintah. Selain untuk meningkatkan produktivitas, hal itu diharapkan bisa membantu peningkatan populasi penduduk di Jepang.
Maka jangan heran jika teman Anda yang orang Jawa, Sunda, Batak, atau dari suku manapun, saat ini memiliki istri yang berasal dari Jepang. Biasanya mereka yang bekerja di Jepang akan memilih menikahi penduduk lokal.
Tapi tahukah Anda apa itu resesi seks? Atau istilah lainnya seperti “Sexless Generation” (bahasa Inggris) atau “Sekkusu Shinai Shokogun”?
Secara harfiah, fenomena resesi seks adalah fenomena dimana sebagian besar orang cenderung tidak memiliki keinginan untuk menjalin hubungan intim dengan lawan jenis, atau tidak ingin berkomitmen membangun rumah tangga. Dampaknya pun beragam, yang paling utama adalah pengaruh terhadap angka penduduk di suatu daerah, akibat rendahnya angka kelahiran. Bahkan dampaknya bisa menyebar ke berbagai aspek kehidupan lainnya, mulai dari ekonomi, sosial, hingga budaya.
Menurunnya jumlah pekerja produktif juga menjadi salah satu dampak lainnya yang harus segera dibenahi. Mengingat Jepang memang terkenal dengan negara maju yang sangat mengedepankan industri.
Ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan resesi seks terjadi di suatu negara, dalam hal ini Jepang. Diantaranya beban pekerjaan dari masing-masing individu, yang menyebabkan mereka lebih memilih fokus menyelesaikan pekerjaan ketimbang membina atau membangun hubungan intim dengan lawan jenis.
Selain itu faktor lainnya yakni teknologi yang semakin maju. Seperti diketahui, teknologi di Jepang sudah diakui dunia akan kecanggihannya. Bahkan saat ini banyak fitur yang bisa membuat orang-orang di Jepang rela berlama-lama sendirian tanpa berinteraksi dengan orang luar, seperti media sosial, game online, hingga akses internet untuk menonton film dll.
Kekhawatiran mengenai beban finansial juga menjadi penyebab orang-orang di Jepang untuk tidak menikah alias tidak berhubungan intim. Seperti diketahui, biaya hidup di Jepang memang sangat mahal. Belum ditambah dengan sejumlah pajak seperti pajak kendaraan di Jepang yang diketahui menjadi yang tertinggi dibanding negara Asia lainnya.
Meski demikian, Pemerintah Jepang juga tidak kurang-kurang memberikan dukungan kepada penduduknya untuk meningkatkan angka kelahiran. Ada beberapa program yang diluncurkan pemerintah Jepang sejak beberapa tahun terakhir. Tujuannya satu, yakni untuk menekan fenomena resesi seks di Jepang, agar para penduduk mau menikah dan memiliki keturunan. Salah satunya yakni dana pernikahan untuk pasangan yang dinilai kurang mampu. Nominalnya pun cukup tinggi, mencapai 3,4 juta Yen atau jika dirupiahkan menjadi Rp 450 juta per tahunnya.
Belum lagi dukungan dana kesehatan untuk program kehamilan yang dikawal sejak perencanaan sampai kelahiran. Belum lagi ada santunan atau dana melahirkan yang ditujukan kepada calon ibu yang sedang hamil. Termasuk tunjangan anak sejak anak lahir hingga berusia 12 tahun. Dan masih banyak program lainnya.
Meski demikian, fenomena resesi seks di Jepang masih tidak berubah, bahkan setiap tahunnya cenderung semakin parah.
Terbaru, pemerintah Jepang bahkan berencana mengubah aturan mereka mengenai tenaga kerja asing. Seperti diketahui, Jepang sangat selektif dalam hal tenaga kerja asing. Jepang sendiri menganut istilah “Kalau bisa sendiri kenapa harus orang lain”. Sehingga prosedur untuk bekerja di Jepang pun, khususnya untuk tenaga kerja asing, sangat sulit. Meski demikian, beberapa waktu terakhir Jepang bahkan sudah mulai longgar mengenai hal tersebut.
Pemerintah Jepang juga berencana menambah jumlah bidang untuk tenaga kerja asing kategori II. Seperti diketahui, tenaga kerja asing kategori dua tidak memiliki batasan tinggal di Jepang, dan mereka dapat membawa pasangan dan anak-anak mereka ke Jepang.
Untuk diketahui, persyaratan untuk mendapatkan status pekerja asing kategori II memang sulit. Meski demikian hal itu bukan berarti mustahil. Jika sebelumnya, kategori II hanya diperuntukkan pekerja di bidang konstruksi dan galangan kapal, rencananya ada beberapa bidang lagi yang akan ditambahkan, seperti bidang pertanian dan manufaktur makanan.
Bagaimana? Tertarik untuk bekerja dan tinggal di Jepang? (rin)