Judul : Jika Aku Milikmu
Penulis : Bernard Batubara
Penerbit : Gagas Media
Tahun terbit : 2015
Tebal : 258 Halaman
ASAPENA – Jika Aku Milikmu, menjadi buku kedelapan yang ditulis oleh Bernard Batubara. Sama dengan karya-karya sebelumnya, Bara, akrabnya, masih mengusung tema percintaan.
Adalah Sarif, putra Pontianak yang akhirnya kembali ke kota kelahirannya, setelah menyelesaikan kuliahnya di Jakarta. Yang bertemu kembali dengan masa lalunya selama di SMA, Nur. Perasaan Sarif yang belum tersampaikan pada Nur, akhirnya dinyatakan pasca perpisahan mereka di bandara empat tahun silam.
Jarak empat tahun itu nyatanya bukan waktu yang singkat untuk menghadirkan perempuan lain di kehidupan Sarif. Ya, selama empat tahu itu pula, Mei yang merupakan teman kuliah Sarif, menaruh harapan lebih pada hubungan mereka.
Gejolak asmara antara Sarif, Nur, dan Mei, menjadi plot utama cerita di buku ini. Bagaimana keraguan Nur terhadap perasaan Sarif, lalu bagaimana nekatnya Mei merebut hati Sarif, hingga bagaimana Sarif meyakinkan Nur dan Mei tentang perasaannya.
Ditambah konflik antara keluarga. Keinginan Marwan (ayah Sarif) untuk menjodohkan putra semata wayangnya dengan putri Koh Asiu yang menjadi salah satu pengusaha kayu terbesar di Pontianak (ayah Mei). Dengan tujuan untuk memuluskan bisnisnya, termasuk sebagai upaya memudahkannya maju dalam pemilihan walikota.
Lalu ada konflik masa lalu Marwan dengan Pangsuma (ayah Nur), yang meninggal akibat kecelakaan tunggal. Dimana mereka berdua sebenarnya merupakan sahabat.
Namun, semuanya menjadi bagian-bagian yang justru menghapus keraguan Nur terhadap Sarif. Hingga akhirnya Mei pun menyadari yang diinginkan Sarif hanyalah Nur.
Kelebihan:
Ada tiga hal dominan yang ada pada buku ini. Yang pertama, soal cinta segitiga antara Sarif, Nur, dan Mei. Kedua, mengenai masa lalu. Dan yang terakhir dan paling mewakili seluruh isi buku ini, yakni soal keragu-raguan.
Semua hal itu dibalut dalam satu cerita yang dinamis. Sesuai karakter penulis yang memang bisa menggambarkan sesuatu secara gamblang hanya melalui tulisan. Meski setting ceritanya berada di Pontianak, penulis mampu membuat pembaca merasa lebih dekat. Termasuk permasalahan nasional yang masih kerap terjadi, yaitu pembalakan hutan secara ilegal.
Buku ini mengajarkan bahwa masa lalu bukanlah hal yang harus ditakuti. Bukan pula hal yang harus dihindari. Melainkan hal yang justru bisa menguatkan langkah kita ke depannya.
Keraguan yang muncul dalam cerita ini sebagian besar didominasi oleh masa lalu yang belum tuntas. Sehingga harus dituntaskan terlebih dahulu agar kita punya gambaran bagaimana menyikapi keadaan saat ini. Seperti plot saat Nur meredam kegelisahannya mengenai masa lalu Marwan dan ayahnya. Bahkan Nur rela menjual biola peninggalan satu-satunya dari ayahnya untuk membantu Marwan, sahabat ayahnya, yang juga ayah dari Sarif, laki-laki idamannya.
Sama dengan buku-buku sebelumnya, ada banyak kalimat-kalimat quotable yang disisipkan penulis. Hal itu menjadi kekuatan lain yang dibangun penulis dalam buku ini.
Kekurangan:
Buku ini secara keseluruhan sudab baik. Hanya saja pada awal cerita, penulis membuat beberapa plot yang maju mundur, sehingga pembaca harus jeli mencermati setiap plot yang disajikan. Perpindahan plotnya pun dinilai masih belum natural. Berbeda jika ini adalah sebuah film, maka plot seperti itu akan sangat mudah diterapkan dan dipahami.
Meski banyak kalimat-kalimat yang bisa dijadikan advice, tapi masih ada kalimat yang dinilai belum sesuai. Seperti kalimat “mengubah kebiasaan tidak semudah mengubah perasaan,” kata Nur (halaman 102).
Dalam kalimat itu, Nur berusaha meyakinkan Sarif jika Sungai Kapuas bisa saja bersih seperti layaknya Venice, Italia. Meskipun bisa dilakukan, namun pada kenyataannya tetap sulit dipraktekan. Namun penyampainnya yang di-compare dengan perasaan dirasa tidak pas. Mengingat daripada mengubah perasaan agaknya lebih mudah mengubah kebiasaan. Bahkan perasaan justru bisa mengubah beberapa kebiasaan yang sering kita lalukan. Misalnya, jika itu perasaan tentang seseorang, seringnya kita mengubah sedikit kebiasaan kita untuk disesuaikan dengan kebiasaan orang yang kita suka.
Secara keseluruhan, buku ini layak untuk dibaca dan dimiliki. Sekaligus bisa menjadi koleksi untuk merekam jejak karya dari penulis muda, Bernard Batubara. (rin)