“Pesanan makanan kesukaan kita sudah datang, tapi sepertinya kamu masih sibuk. Aku makan dulu ya, nanti pasti aku sisakan ”
atau
“Kamu mau snack gak, rapat tadi ada yang tidak datang. Kebetulan ada sisaan nih.”
Tentunya tidak jarang kita mendengar kalimat-kalimat seperti itu di kehidupan kita, baik mengarah kepada kita maupun kepada orang lain. Entah di rumah, di kantor, di sekolah nampaknya kalimat itu sudah sangat lumrah diucapkan. Banyak orang yang menganggapnya sambil lalu dan tidak memiliki makna apapun. Intinya tetap dapat bagian makanan.
Namun, coba kita ucapkan dan rasakan sekali lagi, apa yang dapat kita tangkap dari kalimat tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata dasar “sisa” sendiri memiliki arti “apa yang tertinggal (sesudah diambil, dimakan dan sebagainya).” Sedangkan kata “menyisakan” berarti membiarkan bersisa atau meninggalkan sedikit. Tidak jauh dari kedua kata itu, “sisakan” dan “sisaan” dapat diartikan secara sederhana makanan itu memang sudah dinikmati orang lain dan meninggalkannya karena sudah kenyang atau tak ingin lagi. Tentunya kata-kata “sisakan” dan “sisaan” dirasa berkonotasi negatif. Alangkah lebih baiknya apabila kedua kalimat di atas sedikit diubah agar memiliki konotasi lebih positif.
“Pesanan makanan kesukaan kita sudah datang, aku sisihkan dahulu untuk kamu.”
dan
“Ternyata snack rapat tadi masih lebih, aku berikan satu untukmu ya.”
Ternyata sedikit perubahan pada diksi dapat mengubah konotasi, bahkan ekspresi seseorang. Kata “sisihkan” dan “lebih” memiliki makna menghormati dan menghargai orang lain. Saat pengucapannya sedikit banyak juga pasti mengubah intonasi dan yang mendengarnya pun lebih merasa dihargai.
Menilik kebutuhan seseorang untuk dihargai, Maslow menjelaskannya lebih dalam pada Teori Hierarki Kebutuhan. Ternyata kebutuhan tersebut terdapat pada tahap keempat setelah seseorang merasa terpuaskan akan kebutuhan fisiologis, rasa aman dan kasih sayang. Penghargaan didapatkan dari pengakuan, status dan harga diri di mana hal ini masuk dalam kebutuhan psikologis seseorang. Hal ini dapat diwujudkan dalam cara kita memperlakukan orang lain melalui kesantunan berkomunikasi. Liliweri (2003) menyatakan pesan yang disampaikan melalui kalimat dan diksi yang baik merupakan unsur yang sangat penting sehingga makna dari pesan itu sendiri memperlancar interaksi sosial antarmanusia.
Alangkah lebih baiknya penggunaan bahasa yang santun diterapkan sejak sedini mungkin. Hal ini dapat diterapkan pada pendidikan karakter anak-anak baik di rumah maupun di sekolah. Memang dapat dianggap hal yang sederhana bahkan sepele, tetapi kebiasaan berbahasa yang baik mampu membentuk karakter baik seseorang. Pendidikan merupakan sebuah proses internalisasi budaya ke dalam diri individu dan masyarakat menjadi beradab. Sedangkan Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran, dan jasmani agar anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Pendidikan karakter itu sendiri merupakan upaya sungguh-sungguh untuk membantu seseorang memahami, peduli dan bertindak dengan nilai-nilai etis. Adapun tiga unsur pembentuk karakter, yaitu mengetahui kebaikan, mencintai kebaikan dan melakukan kebaikan.
Melakukan kebaikan yang sederhana salah satunya tercermin dalam cara seseorang merangkai pesan komunikasi. Jika menilik perilaku dan sikap anak-anak saat ini, ada kekhawatiran tersendiri terkikisnya cara mereka berkomunikasi dengan santun dan dengan sikap sopan. Beberapa contoh lain yang biasa digunakan generasi saat ini misalnya, “Kakakku kerja di perusahaan es lilin paling mahal, aku sampe bosen sering banget dibawain dia. Masih ada sisa tuh di kulkas, kamu mau?” Mungkin kita dapat membayangkan sikap saat seorang anak mengucapkan hal tersebut tersirat kesombongan, sikap acuh tak acuh, tidak menghargai makanan, bahkan menyepelekan kawannya. Kita bisa coba melatih anak-anak untuk mengubah kalimat tersebut agar memiliki makna positif, tentunya latihan dimulai dari diri sendiri dahulu. Apabila kalimat diubah menjadi lebih positif, otomatis sikap bicara akan lebih santun.
Mungkin dapat dihitung dengan jari anak-anak yang masih mempertahankan etika dalam berkomunikasi. Sosial media dan arus informasi yang tidak terbendung dari arah mana pun mengancam karakter mereka. Polah tingkah mereka di Tik Tok, Instagram, dan status yang diunggah bahkan tidak sedikit memperlihatkan sikap mereka tidak menghormati diri sendiri. Kalau hal ini sudah terjadi, bagaimana mereka mampu menghormati dan menghargai orang lain? Hal ini menjadi tanggung jawab kita sebagai orang tua dan guru dalam membentuk karakter seorang anak. Dimulai dari hal kecil, hal paling sederhana, hal paling mudah dan dimulai dari sekarang. Satu kata berkembangg menjadi satu kalimat, sebuah sikap, dan sebuah perilaku akan mempengaruhi cara kita memperlakukan diri sendiri dan orang lain.
Peribahasa yang dapat kita terapkan dalam keseharian di antaranya ”Jika kita ingin dihormati orang lain, maka kita harus menghormati orang lain” atau “Perlakukan orang lain seperti kita ingin diperlakukan.” (*)
Oleh: PRITA SUCI NURCANDRANI
Staf Pengajar Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Amikom Purwokerto