ASAPENA.COM – Pemerintah mencanangkan peremajaan sawit rakyat dengan luas lahan hingga 200.000 Ha. Realisasi dana ini mencapai 5,6 triliun untuk satu tahun, hal ini disampaikan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Namun rupanya rencana ini masih belum tercapai karena realisasi peremajaan kelapa sawit hanya memakan biaya Rp 7,5 triliun dengan luas lahan 273.000 hektar sejak 2016-2022.
Salah satu penyebab peremajaan sawit rakyat tidak berhasil karena banyaknya aturan-aturan yang membuat petani keberata. Aturan tersebut mengenai penguasaan lahan dan status lahan. Dalam aturan status lahan ada tambahan aturan surat keterangan tidak berada dikawasan hutan gambut dan status guna usaha.
Persoalan ini yang membuat petani berhenti mengikuti program PSR karena pengurusannya terlalu berbelit-belit dan dari Kementan tidak memfasilitasinya. karena harus mengurus surat Aturan tersebut ada pada Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK), dan Kementerian Badan Pertahanan ATR/BPN.
Namun saat ini peraturan Pemerintah Menteri Pertanian No. 19 yang merupakan aturan PSR kini telah dihapus. Penghapusan aturan tersebut resmi diputuskan awal 2023.
Andi Nur Alamsyah sebagai Direktur Jenderal Perkebunan Kementan bahwa menjelaskan bahwa pihaknya telah memangkas peraturan tersebut sebelumnya, agar petani mendapatkan subsidi peremajaan kelapa sawit.
Pemangkasan peraturan ini juga diharapkan oleh Kementerian ATR/BPN dan Kementerian KLHK. Kedua kementerian tersebut sepakat untuk menyederhanakan peraturan syarat subsidi peremajaan sawit.
Pogram PSR menjadi program pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas hasil tanaman perkebunan kelapa sawit nasional.
Dalam peraturan Pemerintah Permentan 19 dijelaskan, bahwa dalam aturan baru petani tidak lagi diminta untuk memiliki surat lindung gambut. Selain itu untuk hak kepemilikan hanya membutuhkan serat keterangan dari kepala desa saja.
Tidak hanya dikeluhkan oleh petani, persyaratan PSR juga membuat KLHK dan Kementerian ATR/BPN harus menunggu pengumpulan pesryaratan saja. Akibat terlalu lama menunggu persyaratan akan membuat realisasi peremajaan sawit tidak tercapai.
Penghapusan dan penyederhanaan peraturan PSR juga menjadi pembelajaran Pemerintah karena pada tahun 2022 di Provinis Riau-Aceh peremajaan sawit rakyat tidak mencapai target realisasi. Selain memakan banyak waktu kepengurusan persyaratan membuat petani harus mengeluarkan biaya lebih banyak.
Masalah lain yang menyebabkan realisasi Peremajaan Sawit Rakyat tidak tercapai adalah harga pupuk yang mahal. Petani mengeluh karena harga pupuk semakin meningkat. Peningkatan harga tersebut mencapai 300%. Hal tersebut membuat petani enggan melakukan peremajaan sawit, karena sulit mendapatkan subsidi PSR.
Petani sawit sebetulnya hanya membutuhkan dukungan dari pemerintah untuk bisa memajukan hasil pertanian. Dukungan yang dibutuhkan dari petani hanya mengenai kebutuhan pupuk yang dipermudah serta perizinan kepemilikan lahan saja.
Selebihnya mengenai sumber daya manusia dan transportasi petani masih mampu untuk memenuhinya. Kelapa sawit menjadi sumber pendapatan negara dibidang perkebunan, setidaknya Indonesia memiliki 2,8 juta hektar area perkebunan sawit.
Program peremajaan sawit rakyat merupakan program Kementerian Pertanian dan Kementerian ATR/BPN agar produksi sawit meningkat. Upaya tersebut dilakukan agar hasil perkebunan meningkat dan sumber pendapatan negara bertambah. Namun program tersebut rupanya masih jauh dari target realisasi karena permasalahan kepengurusan bebas lahan gambut dan kepemilikan serta ketersediaan pupuk.
Peran pemerintah dan petani harus bisa diselaraskan dan sejalan agar hasil perkebunan sawit mampu mendongkrak perekonomian Indonesia. Tidak hanya menambah pendapatan negara, perkebunan sawit juga diharapkan bisa menembus pasar dunia agar bisa masuk dalam pasar internasional sehingga nilai rupiah terhadap dollar meningkat. Harapan-harapan tersebut bisa terwujud ketika pemerintah dan petani bisa bekerja sama dengan baik.