ASAPENA – Bangkrutnya beberapa bank di Amerika Serikat sedikit banyak sudah mulai berdampak pada ekonomi global. Salah satunya munculnya fenomena pengurangan mata uang Dolar AS atau dikenal dengan istilah dedolarisasi. Dedolarisasi sudah terjadi hampir di seluruh negara di dunia, terutama dalam hal transaksi keuangan dan perdagangan.
Tidak hanya di Indonesia, fenomena tersebut kini juga sudah gamblang diungkapkan sejumlah negara di dunia. Negara-negara tersebut memilih beralih ke mata uang China, Yuan, untuk segala macam transaksi.
Seperti diketahui, dedolarisasi sudah dilakukan oleh China dan Brasil sejak beberapa tahun terakhir. Dua negara tersebut menjalin kesepakatan untuk menolak dolar dalam setiap transaksi antar dua negara tersebut.
Hal itu juga diikuti negara-negara lain seperti Rusia. Seperti diketahui, Rusia dan AS memang sudah terlibat konflik sejak lama. Sehingga dedolarisasi menjadi jalan bagi Rusia untuk menekan kekuatan Dolar AS di negeri tersebut.
Di Indonesia, fenomena tersebut juga sudah terjadi sejak 2018 lalu. Meski demikian, di Indonesia fenomena tersebut tidak terlalu masif, sehingga masih ada transaksi-transaksi baik transaksi keuangan maupun perdagangan yang menggunakan Dolar AS.
Adapun langkah dedolarisasi yang ditempuh Indonesia, diantaranya dengan kerjasama yang dilakukan Bank Indonesia dengan berbagai negara melalui program Local Currency Settlement (LCS).
LCS sendiri merupakan penyelesaian transaksi atau metode pembayaran dengan menggunakan mata uang lokal. Tergantung mata uang yang berlaku di masing-masing negara tersebut.
Implementasi LCS juga sudah diterapkan Indonesia dengan beberapa negara tetangga lainnya, seperti China, yang sudah terjalin sejak September 2021 lalu. Yang paling baru yakni kerjasama antara Indonesia dengan Korea Selatan (Korsel) yang mulai terjalin sejak Mei 2023 lalu.
Hal itu ditandai dilakukan oleh Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati, di sela-sela pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN+3 beberapa waktu lalu.
Sejumlah pengamat menyebut langkah dedolarisasi yang dilakukan pemerintah Indonesia ini merupakan langkah yang tepat. Bukan karena adanya gejolak ekonomi di Amerika Serikat, melainkan memang sudah direncanakan sejak lama.
Mengingat langkah dedolarisasi memang butuh waktu yang panjang dan strategi yang tepat. Sehingga fenomena bangkrutnya sejumlah bank di Amerika Serikat, bisa dijadikan momentum pemerintah Indonesia untuk memaksimalkan dan memasifkan program dedolarisasi dengan sejumlah negara lainnya.
Meski demikian, Direktur Center of Economic and Lay Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyebut langkah dedolarisasi jangan dijadikan langkah latah dari pemerintah Indonesia.
Menurutnya, dedolarisasi yang berkembang saat ini dikarenakan adanya adu kepentingan antara AS dan negara lain seperti China maupun Rusia. Dedolarisasi saat ini disebut sebagai kepentingan anti AS. Sehingga pemerintah Indonesia perlu mencermati lebih detail terkait langkah dedolarisasi yang akan diambil nanti.
“Jangan sampai kita ikut-ikutan dedolarisasi yang jadi kepentingan Rusia-China yang sedang ada konflik dengan AS. Atau mungkin kita malah beralih ke mata uang lain seperti Yuan (mata uang China) maupun Rubel (mata uang Rusia), itu jelas bukan tindakan yang tepat,” ungkapnya.
“Jika ingin membuang dolar AS, pemerintah Indonesia bisa menggantinya dengan mata uang asing lain yang tidak hanya fokus satu. Salah satunya yakni lewat program LCS yang digagas Bank Indonesia,” imbuhnya.
Menurutnya ada beberapa kelemahan yang bisa menjadi batu sandungan pemerintah Indonesia untuk berkembang di bidang ekonomi global. Secara global, dolar AS sejauh ini menguasai 60 persen dari total mata uang yang digunakan untuk perdagangan internasional.
Sementara mata uang lain masih jauh dibawah dolar AS, seperti Euro yang hanya 20 persen, atau Yuan yang masih berada di level 7 persen.
Sehingga menurut Bhima sangat tidak tepat jika langsung mengganti peran dolar AS ke mata uang asing lain secara global. Maka dari itu program LCS menjadi solusi terbaik untuk memecah dominasi dolar AS dalam penguasaan mata uang secara global.
Tidak hanya itu, jika misalnya pemerintah Indonesia mengganti peran dolar AS ke mata uang asing lain seperti Yuan China, dampaknya akan sangat terasa terhadap dunia perdagangan nasional.
Mengingat baik proses ekspor dan impor dalam negeri saat ini hampir 90 persen negara mitra dagang Indonesia masih menggunakan dolar AS sebagai mata uang pembayaran utamanya.
“Jadi dedolarisasi sebenarnya langkah atau upaya yang bagus dari pemerintah. Namun prosesnya masih panjang, karena tidak bisa instan. Mengingat ketergantungan kita terhadap dolar AS masih sangat besar,” ungkap Bhima.
“Tidak perlu fokus pada satu mata uang asing, seperti yuan misalnya. Kita bisa pakai ringgit, bath, won, atau yen, yang LCS jauh lebih efektif sebenarnya dibandingkan lepas dari ketergantungan dolar,” pungkasnya. (rin)