ASAPENA – Saat Lebaran, salah satu momentum yang paling dinanti masyarakat khususnya para pekerja dalah Tunjangan Hari Raya (THR). Baik pegawai di lembaga pemerintah ataupun swasta, semua berhak mendapatkan THR.
Sesuai Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan, bagi pekerja atau buruh di perusahaan wajib mendapatkan pendapatan non upah yang dibayarkan oleh perusahaan menjelang hari raya keagamaan.
Namun tahukan kalian, siapa pencetus THR di Indonesia ini? Tentu hal itu patut diketahui tentang sejarah lahirnya THR serta asal muasal tercetusnya kebijakan tersebut.
Berdasarkan Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI), lahirnya THR di Indonesia bermula pada Tahun 1951. Penemu nama THR dicetuskan oleh Perdana Menteri Indonesia dari Partai Masyumi, Soekiman Wirjosandjojo. Upaya tersebut dalam raya meningkatkan kesejahteraan para pegawai dan juga aparatur negara berupa tunjangan.
Awalnya kebijakan tersebut menuai pro kontra, terutama para buruh. Pada 13 Februari 1952 dilakukan aksi mogok kerja sebagai bentuk protes mereka.
Para buruh meminta pemerintah agar menerapkan kebijakan serupa untuk para buruh, yakni perusahaan memberikan THR kepada pekerjanya. Sebab mereka menilai para buruh juga turut berkontribusi meningkatkan perekonomian Indonesia.
Atas aksi tersebut, pemerintah akhirnya menyetujui dan menerbitkan peraturan agar perusahaan bersedia memberikan tunjangan di luar gaji tersebut kepada pekerjanya.
Sejak saat itu, sebutan THR semakin populer di kalangan masyarakat. Kendati demikian, kebijakan secara resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah baru terjadi saat berganti rezim.
Melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang THR Keagamaan bagi pekerja di perusahaan pada Orde Baru dan pada saat Reformasi, peraturan tersebut disempurnakan melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.
Sesuai aturan terbaru, THR diberikan oleh perusahaan kepada pekerja yang telah bekerja minimal selama satu tahun, maka akan mendapat THR sebesar satu kali gaji. Sedangkan untuk pekerja yang kurang dari setahun, maka THR diberikan dengan perhitungan secara proporsional.
Sampai saat ini THR menjadi salah satu hal yang paling dinantikan dan telah melekat sebagai tradisi saat Lebaran selain mudik.
Menurut Saiful Hakam, peneliti muda LIPI, kabinet Soekiman membayarkan tunjangan kepada pegawai di akhir Ramadan sebesar Rp125 hingga Rp200 pada saat itu.
“Awalnya kabinet ini juga memberikan tunjangan berupa beras setiap bulannya,” terangnya dikutip dari situs resmi LIPI.
Namun saat ini THR identik dengan uang. Namun ada yang menggantinya dengan makanan, bahan-bahan pokok, hingga barang-barang lainnya yang masa kini disebut sebagai hampers. Itulah sejarah kebijakan THR bisa lahir di Indonesia serta memberikan kebahagiaan bagi para pekerja yang menerimanya. (adm)