ASAPENA – Kondisi ekonomi USA saat ini yang tengah berada di ujung tanduk, bisa berdampak serius bagi perekonomian global. Banyak negara bakal ikut terkena imbas, atas gagalnya Amerika dalam membayar hutang termasuk Indonesia.
Meski tidak terlalu berdampak signifikan, pengaruh gejolak USA ke Indonesia tetap memberikan beberapa perubahan. Terutama soal urusan perdagangan barang dan jasa.
Abdul Manap Pulungan Peneliti Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institut for Development of Economics and Finance (Indef) menuturkan, ada tiga faktor utama yang bisa mempengaruhi ekonomi global. Faktor pertama adalah geopolitik, ekonomi China dan Uni Eropa, serta faktor yang terakhir adalah ekonomi Amerika Serikat. Gagalnya Amerika Serikat dalam melunasi utang-utangnya, bisa memicu peta perekonomian global.
Meski berdampak, menurutnya gejolak ekonomi yang tengah melanda Amerika Serikat ini sifatnya sementara. Dan juga tidak terlalu memberikan dampak yang berarti.
“Yang terpengaruh adalah sektor keuangan,” kata Abdul.
Abdul menjelaskan, dilihat dari tingkat ketergantungan antara Indonesia dengan Amerika Serikat yang tidak terlalu signifikan berdampak pada imbas yang akan diterima dari gejolak ekonomi Amerika Serikat. Atau dengan kata lain ia mengatakan, dari segi kerjasama perdagangan yang dijalin tergolong tidak terlalu besar. Menilik dari Data perdagangan bulan Januari – Maret 2023, ekspor non-migas Indonesia ke Amerika Serikat sebesar 9,22 persen, dengan 4,79 persen untuk besaran impor.
Jika nantinya Amerika Serikat tidak bisa membayar utang, maka permintaan barang dan jasa dari negeri Paman Sam secara otomatis akan mengalami penurunan.
Pengaruh gejolak USA ke Indonesia bukan hanya berimbas pada sektor perdagangan semata. Imbas lainnya adalah pada sektor penanaman modal asing (PMA) Amerika Serikat terhadap Indonesia. Meskipun ia katakan, mengacu data tahun lalu PMA Amerika Serikat di Indonesia hanya sekitar enam persen yang mana tidak terlalu signifikan. Meski tidak signifikan PMA yang dilakukan berada di sektor yang sangat strategis, yaitu pada sektor energi.
Selanjutnya, pengaruh gejolak USA ke Indonesia turut berimbas hingga level kebijakan keuangan di tanah air terutama untuk aspek nilai tukar mata uang. Dari segi kebijakan fiskal, imbasnya akan merembet pada meningkatnya surat berharga yang dimiliki oleh negara, ini akan membuat naiknya nilai pokok utang dan cicilan.
Disisi lain Tauhid Ahmad Direktur Eksekutif Indef menyoroti, apa yang telah terjadi di Amerika telah memberikan dampak yang sudah mulai dirasakan di Indonesia. Indikator itu menurutnya sangat kentara pada geliat ekspor dan impor.
Awal tahun 2023 dari bulan Januari hingga Februari ekspor Indonesia ke Amerika Serikat mengalami penurunan. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan impor yang justru meningkat.
Ia melanjutkan, menilik data Kemendag untuk ekspor non-migas Indonesia ke Amwrika Serikat turun dari semula 4,95 miliar dollar AS pada awal tahun lalu merosot hingga 3,85 miliar dollar di awal tahun ini. Penurunan ekspor itu ia sampaikan setara dengan 22,14 persen. Diwaktu yang bersamaan impor non migas naik dari 1,12 miliar dollar menjadi 1,35 miliar dollar atau naik 20,13 persen.
Tauhid menjelaskan, jika tidak ada solusi yang signifikan dadi Amerika Serikat kondisi saat ini yang dialami di Indonesia bisa semakin memburuk. Salah satu yang perlu diwaspadai adalah jumlah utang Indonesia yang bisa membengkak. Utang Indonesia dalam mata uang asing bisa meroket apabila kurs rupiah semakin melemah.
Untuk itu pemerintah mesti sigap dalam membaca kemungkinan terburuk ini. Diversifikasi jenis mata uang dari negara asal utang, menjadi langkah yang tepat untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk ini. (gsb)