ASAPENA – Tiga virus varian baru Corona atau Covid-19 telah masuk ke Indonesia. Mulai dari Alpha pertama ditemukan di Inggris, Beta di Afrika Selatan hingga Delta di India. Dari ketiga varian baru itu, Varian Delta dianggap paling berbahaya atau paling ganas.
Bahkan di India, Varian Delta menyebabkan ‘tsunami’ infeksi Covid-19. Saat ini, Varian Delta masih dalam pengamatan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO. WHO memasukkan varian ini dalam “Variant of Concern” (VOC) atau varian yang mengkhawatirkan.
Varian ini diawali oleh gejala yang mirip dengan infeksi virus asalnya. Akan tetapi, varian Delta membuat gejala-gejala tersebut menjadi lebih parah dan lebih sulit ditangani oleh tim medis.
Melansir Data Kementerian Kesehatan, sampai 13 Juni 2021 sudah ada 107 infeksi varian Delta di Indonesia. Infeksi ini jauh lebih besar dibanding varian Alfa dengan 36 infeksi dan varian Beta dengan lima kasus. Hal ini membuat varian Delta menjadi VOC terbesar di Indonesia.
Menurut Kementerian Kesehatan, ada tiga hal yang menjadi penyebab penyebaran varian ini di Indonesia.
Pertama, interaksi sosial yang cukup tinggi. Kedua, pelanggaran protokol kesehatan. Ketiga, hadirnya varian virus baru yakni varian Delta yang penyebarannya sangat cepat.
FAKTA VARIAN DELTA
Dalam penyebarannya, peneliti telah mendapatkan beberapa fakta mengenai penularan varian ini. Berikut daftarnya:
1. Penularannya tiga kali lebih cepat
Kandidat PhD di bidang kedokteran Kobe University dr. Adam Prabata menyebut dalam akun Instagramnya bahwa varian Delta atau B.1.617.2 memiliki mutasi yang menyebabkan peningkatan penularan.
Menurut laporan Public Health England (PHE), penularan itu tiga kali lebih menular dibandingkan varian pertama virus penyebab Covid-19.
2. Risiko rawat inap
Karakteristik delta yang cukup berbahaya, salah satunya yaitu menyebabkan banyak pasien harus dirawat di rumah sakit.
Delta menyebabkan peningkatan risiko rawat inap 2,61 kali lebih tinggi. Varian yang pertama kali ditemukan di India ini perlu diwaspadai karena juga telah ditemukan di Indonesia.
Bahkan, risiko rawat inap yang lebih tinggi ini juga memungkinkan peningkatan risiko sakit berat yang membutuhkan alat bantu napas atau ventilator sebanyak 1,67 kali lebih tinggi. Itu artinya juga bisa meningkatkan kemungkinan angka kematian yang lebih tinggi.
3. Bisa terdeteksi oleh PCR
Walau sebelumnya ada informasi yang menyebut bahwa varian Delta tidak bisa terdeteksi PCR, ternyata menurut dr.Adam, varian Delta masih bisa terdeteksi dengan pemeriksaan PCR.
4. Memiliki gejala berbeda
Hingga saat ini, dr.Adam mengatakan bahwa belum ada hasil penelitian atau laporan terpublikasi terkait varian Delta yang memiliki gejala berbeda. Bukti yang ada saat ini mengenai varian Delta berbeda, baru dalam bentuk data yang disampaikan media, seperti sakit kepala, sakit tenggorokan dan pilek.
5. Berisiko reinfeksi
Dalam paparannya, dr.Adam menyebut bahwa varian Delta terbukti menurunkan kemampuan penetralisir antibodi. Itu artinya, ada kemungkinan orang yang pernah terinfeksi varian Delta sebelumnya bisa terinfeksi kembali. Varian Delta berpotensi meningkatkan risiko reinfeksi.
6. Berpotensi menurunkan efektivitas vaksin
Varian Delta terbukti menurunkan kemampuan penetralisir beberapa vaksin Covid-19. Mengutip WHO, untuk mencegah varian baru ini, bila hanya dilawan dengan satu dosis vaksin Pfizer dan AstraZeneca, maka akan berkurang efektivitasnya, tapi efektivitas akan terjaga setelah dua dosis vaksin diinjeksikan. (adm)